Ajining diri dumunung aneng lathi
Sebuah filosofi Jawa yang pertama kali aku baca di dinding rumah tetanggaku sewaktu aku masih SD. Dan baru kali ini berani mengungkapkan dalam tulisan. Ajining diri dumunung aneng lathi, secara harafiah berarti harga diri terletak di lidah, sementara lidah bermakna kata atau ucapan. Berlaku bagi semua orang bahwa ia akan dihormati, dihargai, dipuja, bahkan dicampakkan, diacuhkan, disingkirkan karena ucapan-ucapan dari mulutnya. Dari gerak lidah muncullah kata-kata yang bisa menuntun seseorang atau sekelompok orang atau golongan atau negara untuk menentukan langkah berikutnya. Maksudnya adalah jika yang keluar adalah kata-kata yang bisa menyesatkan orang maka kata itu bisa menceraiberaikan orang atau kelompoknya atau negaranya. Namun jika yang keluar adalah kata-kata yang bisa mengobarkan semangat, menyejukkan hati, menambah gairah berkarya, semacam motto atau semboyan, maka keputusan yang berikutnya muncul sebuah gerakan perubahan perbaikkan.
Apa yang selalu terjadi menjelang pilkada, pileg, dan pilpres ? Kita selalu mendengar beratus-ratus kata, berjuta-juta kata yang meluncur dari gerak lidah pada calon-calon pemimpin (katanya). “Jika Saudara memilih saya, saya akan ..., Saudara akan ..., negara akan ..., “ atau “Jika saya menjadi pemimpin daerah/anggota legislatif/presiden/wakil presiden saya akan ..., Saudara akan ..., negara akan ..., UUD 1945 akan ..., Pancasila akan ..., kehidupan beragama akan ..., keadilan akan ..., penegakkan hukum akan ..., pemberantasan korupsi akan ..., pertumbuhan ekonomi akan ..., pendidikan akan ..., dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain, semua kata yang baik meluncur dari lidah cakada, atau caleg, atau capres-cawapres. Lalu apa yang terjadi setelah penutur kata-kata itu sungguh terpilih? Program 100 hari? Oh... bagaimana mungkin pertumbuhan ekonomi dipacu dalam waktu 100 hari, bagaimana caranya meningkatkan pendidikan dalam waktu 100 hari? Dan bisa dilihat, belum juga 100 hari banyak pejabat yang sudah menikmati mobil mewah Toyota Crown Royal Saloon, yang konon menurut berita harganya menembus 1 M rupiah. Mereka boleh saja menikmati kemewahan-kemewahan seperti itu manakala sudah dapat menunjukkan prestasinya, sudah dapat menunjukkan bukti dari obahing lathi mereka, itulah hakekat pejabat. Bila janji-janji mereka hanya kosong belaka bisa jadi mereka anggota NATO (No Action Talk Only), orang-orang yang hanya ngaya wara. Kita tunggu action mereka mewujudkan kata-kata yang mereka sampaikan.
Itu salah satu susunan kata yang dapat dipakai sebagai pedoman, sebagai pegangan, bahkan sebagai panglima untuk menuntun penuturnya ke arah tujuan yang akan dicapai. Kata-kata berikut memberikan makna lain dalam memaknai kata sebagai panglima.
Knowledge is Power
Pengetahuan adalah kekuatan, kira-kira begitu arti secara harafiahnya. Artinya banyak orang mencapai keberhasilannya dengan pengetahuan yang dimilikinya dan diolahnya sehingga dapat menjadi kekuatan. Orang yang memiliki pengetahuan dapat mengelola sumber daya manusia, sumber daya alam, menciptkan teknologi yang berguna untuk menusia dan sebagainya. Pengertian power dalam hal ini dapat dimaknai sebagi power untuk membangun peradaban manusia (dunia) dapat juga bermakna power untuk menghancurkan peradaban, tergantung siapa yang menguasai pengetahuan itu. Tentu pula pengetahuan saja tidaklah cukup sampai pengetahuan tersebut jatuh ke tangan seseorang yang sanggup mengubahnya menjadi kemampuan bertindak.
Knowledge is power dilontarkan oleh Francis Bacon. Bacon lahir di London tahun 1561, putera pegawai eselon tinggi masa Ratu Elizabeth. Tatkala menginjak usia dua belas tahun dia masuk belajar di Trinity College di Cambridge, tetapi baru tiga tahun keluar begitu saja tanpa menggondol gelar apa pun. Mulai umur enam belas dia kerja sebentar di staf Kedubes Inggris di Paris. Tetapi begitu umurnya masuk delapan belas sang ayah mendadak meninggal dengan hanya mewariskannya uang sedikit. Mungkin lantaran itu, dia belajar hukum dan di umur dua puluh satu dia jadi pengacara. dialah filosof besar pertama yang menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan falsafah dapat mengubah dunia, dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah.
Tulisan Bacon terpenting adalah menyangkut falsafah ilmu pengetahuan. Dia merencanakan suatu kerja besar Instauratio Magna atau Great Renewal dalam enam bagian. Pertama dimaksud untuk meninjau kembali keadaan ilmu pengetahuan kita. Kedua menjabarkan sistem baru penelaahan ilmu. Ketiga bersisikan kumpulan data empiris. Keempat berisi ilustrasi sistem baru ilmiahnya dalam praktek. Kelima menyuguhkan kesimpulan sementara. Dan keenam suatu sintesa ilmu pengetahuan yang diperoleh dari metode barunya.
Untuk memahami dunia ini, pertama orang mesti “mengamati”nya. Pertama, kumpulkan fakta-fakta. Kemudian, kata Bacon, ambil kesimpulan dari fakta-fakta itu dengan cara argumentasi induktif yang logis. Meskipun para ilmuwan tidak mengikuti metode induktif Bacon dalam semua segi, tetapi ide umumnya yang diutarakannya penelitian dan percobaan penting yang ruwet jadi gerak dorong dari metode yang digunakan oleh mereka sejak itu.
Dalam menyusun tesis-tesisnya dalam meluaskan pengetahuannya, dia membedakan 3 jenis ambisi, pertama, mereka yang berselera meluaskan kekuasaannya di negerinya sendiri, suatu selera yang vulgar dan tak bermutu. Kedua, ialah mereka yang bekerja meluaskan kekuasaan atas negerinya sendiri dan penguasaannya atas penduduk. Ini tentu lebih bermutu meskipun kurang baik. Tetapi, jika orang mencoba mendirikan dan meluaskan kekuasaan dan dominasi terhadap umat manusia di seluruh jagad, ambisinya ini tak salah lagi lebih bijak dari kedua ambisi yang disebut duluan.
Francis Bacon bukanlah orang pertama yang menemukan arti kegunaan penyimpulan akliah secara induktif, dan juga bukan dia orang pertama yang memahami keuntungan-keuntungan yang mungkin diraih oleh masyarakat pengembangan ilmu pengetahuan. Tetapi, tak ada orang sebelum Bacon yang pernah menerbitkan dan menyebarkan gagasan seluas itu dan sesemangat itu. Lebih dari itu, sebagian karena Bacon seorang penulis yang begitu bagus, dan sebagian karena kemasyhurannya selaku politikus terkemuka, sikap Bacon terhadap ilmu pengetahuan betul-betul punya makna penting yang besar. Tatkala “Royal Society of London” (kelompok elit orang pilihan) didirikan tahun 1662 untuk menggalakkan ilmu pengetahuan, para pendirinya menyebut Bacon sebagai sumber inspirasinya.
Para pemikir Pra-Sokratik, pastinya sebelum Bacon, sudah melakukan kegiatan ilmu pengetahuan yang mengandalkan cara berpikir dan logika dibandingkan isi atau teori. Mereka melihat bahwa substansi dari realitas dapat terdiri dari beberapa unsur, baik itu unsur padat, cair, ataupun yang berupa udara, dan kesemuanya itu tergantung pada temperatur udara. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa atom-atom yang sama akan membentuk rangkaian yang berbeda pada suhu yang berbeda. Mereka mengamati dunia, berupaya memberikan penjelasan, dan merumuskan teori yang bersifat umum dari semua gejala yang bersifat partikular. Mereka memiliki intuisi logika yang tajam, walaupun tidak, atau belum, menguasai metode eksperimental dan sistematika yang memadai.
Plato merefleksikan tidak hanya benda-benda yang dapat dia amati, tetapi juga benda-benda pada taraf kenseptual ideal. Ia berpendapat bahwa semua benda yang kita lihat disekitar kita merupakan tiruan dari realitas yang lebih abadi dan murni. Maka untuk sungguh-sungguh memahami dunia, orang harus melihat melampaui yang partikular, yakni segala sesuatu yagn dapat diamati, dialami, dan melihat ke dalam dunia ide-ide yang abadai dan murni. Sementara Aristoteles berpendapat bahwa pengetahuan tentang dunia datang melalui pengalaman yang kemudian ditafsirkan oleh rasio. Bagi Aristoteles, pengetahuan adalah suatu yang berkembang dari persepsi dan pengalaman kita akan realitas, yakni dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari pengalaman inderawi kita. Archimedes telah menemukan sebuah prinsip, yakni bahwa tingkat kemurnian suatu substansi adalah sama dimanapun substansi itu berada. Setiap penambahan ke dalam substansi tersebut akam mengubah berat keseluruhan. Tumpahan air merupakan cara yang paling sederhana untuk mengetahui hal tersebut. Pengetahuan itu akhirnya mempunyai power untuk membuktikan bahwa sebuah mahkota bukan terbuat dari emas murni, melainkan ada tambahan logam lainnya. Disamping itu Archimedes juga menemukan alat pengungkit, derek, dan katrol. Dan banyak dari temuannya tersebut menjadi power bagi kepentingan militer. Bahkan, ia menggunakan lensa untuk memfokuskan cahaya matahari, yang nantinya menjadi power bagi tentara Yunani untuk mengecoh tentara Roma dan bahkan menimbulkan kebakaran di perkemahan mereka.
Dari paparan tiga tokoh Pra-Sokratik di atas menunjukkan perkataan Bacon bahwa knowledge is power bukan omong kosong. Bahkan, Bacon menjadi perumus pertama dari apa yang nantinya menjadi norma umum di dalam metode ilmiah, yakni bahwa semua bentuk pengetahuan harus didasarkan pada bukti-bukti dan eksperimen. Perkembangan ilmu pengetahuan berikutnya, seperti, dalam dunia astronomi, teori evolusi, teori relativitas, mekanika kuantum, genetika, sampai dengan revolusi digital telah membawa kemajuan yang luar biasa dalam bidang teknologi, menjadi power yang dasyat bagi yang mampu menguasai dan mengembangkannya.
Memang benar bahwa pengetahuan adalah kekuatan, namun demikian tidaklah cukup hanya dengan menimba pengetahuan dari berbagai sumur, mencari pengetahuan dari berbagai negeri, dan mengumpulkan bergunung-gunung pengetahuan. Pengetahuan yang didapat harus diaplikasikan, diwujudkan dalam action. Knowledge is power sudah menjadi panglima untuk kemajuan dunia sekarang, namun masih dikawatirkan banyak orang yang sekedar punya pengetahuan yang lebih tanpa Applied.
APPLIED Knowledge is Power
Sebuah istilah yang banyak di pakai dalam dunia bisnis, terutama marketing, untuk lebih menajamkan makna power. Knowledge tidak akan pernah menjadi power tanpa applied. Ilmu yang dipraktekkan adalah kekuatan. Bukan ilmu yang dikumpulkan, tapi dipratekkan. Roger Hamilton dalam bukunya Wink and Grow Rich menggunakan kata-kata yang kurang lebih maknanya sama yakni to know but not to do is not yet to know. Mengetahui tapi tidak melaksanakannya sama dengan tidak tahu, mempunyai ilmu tetapi tidak pernah menggunakan ilmu tersebut sama saja tidak berilmu, kira-kira demikian maknanya. Bagi banyak marketing, setelah membaca buku atau mengikuti seminar, yang harus selalu ditanyakan, apa ilmu yang bisa dipraktekkan? Pertanyaan tersebut biasanya mengarahkan saya kepada tindakan yang produktif.
Dalam dunia pendidikan pun, terutama guru (sebagaiman profesi penulis), APPLIED Knowledge is Power ini harus menjadi panglima dalam tugas sebagai pendidik. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang tujuan pendidikan yang mengembangkan kreativitas siswa-siswanya dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk mengembangkan dirinya secara utuh dan berkelanjutan. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang teori belajar yaitu belajar melakukan penelitian dan percaya diri, bekerjasama, dan instrospeksi. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang teori mengajar yakni bahwa mengajar adalah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa agar mampu menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri dengan bantuan gurunya dan memberi kesempatan seluas-luasnya agar para siswa mampu melakukan kegiatan diskusi dan melakukan kegiatan penelitian. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang sumber yakni bahwa sumber belajar adalah lingkungan alam, termasuk alat peraga dan alat bantu dan lingkungan serta masyarakat dengan segenap isinya. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang teori evaluasi belajar yakni bahwa evaluasi belajar adalah portfolio dan assessment serta portfolio dan konteks belajar. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang teori kurikulum yakni bahwa kurikulum adalah kebutuhan. Maka kurikulum harus melayani kebutuhan subyek didik dan kurikulum adalah bermacam-macam. Maka kurikulum harus dapat melayani bermacam-macam warga dan masyarakat. Itulah sebenar-benar heterogonomus. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang ideologi pendidikan yakni bahwa pendidikan adalah untuk memerdekakan diri dan pendidikan adalah demokrasi. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang hakekat ilmu yakni bahwa ilmu adalah proses berpikir dan kegiatan sosial. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang nilai moral yakni bahwa nilai moral itu adalah hak azasi manusia, keadilan dan kemerdekaan. Guru tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan tentang hakekat siswa yakni bahwa siswa adalah kebutuhannya. Itulah yang harus kita penuhi. Bahwa siswa adalah perkembangannya. Itulah yang harus kita jamin.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut haruslah diwujudnyatakan sehingga bermakna sebagai power-nya guru yang berpengetahuan. Kita tidak mungkin hanya bermimpi dalam mewujudkan pengetahuan tapi harus dengan karya. Stop Dreaming Start Action, maknanya agar kita tidak hanya bermimpi untuk mendapatkan sesuatu melainkan perlu berusaha dengan sungguh-sungguh, dengan cara yang baik, rajin, ulet, dan tekun. Yang pasti untuk benar-benar berhasil kita perlu NOT only dreaming buat Start a real Action. Action dalam menerapkan knowledge kita.
Sumber bacaan:
Reza A.A. Wattimena (2008); Filsafat dan Sains; Grasindo Jakarta.
http://100tokohsejarah.wordpress.com/2009/10/24/francis-bacon/
http://katamutiara.net/stop-dreaming-start-action
http://powermathematics.blogspot.com/search?q=Elegi+menggapai+inovasi+pendidikan
http://roniyuzirman.wordpress.com/2006/04/26/applied-knowledge-is-power/